Biasanya apa yang bikin malesin setiap kita diajak
menonton film religi?
Diceramahi. Digurui. Dinasihati. Secara
terang-terangan.
Well, insya Allah film Kalam-Kalam Langit
berbeda, al least itu yang saya rasakan.
Sebelum menulis review ini, saya membaca komen Mbak
Eno di blog saya yang satu lagi di postingan berjudul Selembar Asa Milik Mbah Sopiyah.
Fyi, Mbah Sopiyah adalah nenek berumur 80 tahun yang setiap hari jalan kaki 10
km demi berjualan kue. Daripada mengemis, Mbah Sopiyah memilih berjualan
kue-kue manis.
“Yang membedakan (Mbah Sopiyah dengan para pengemis) adalah harga diri. Bahkan, ada orang yang penampilannya kinclong kinyis-kinyis, tapi hobinya minta-minta.” - Mba Eno
Somehow, saya merasa inti film Kalam-Kalam Langit ada hubungannya dengan HARGA DIRI tadi. Ceritanya, Ja’far kecik (Nasron Azizan) dilarang
keras oleh ayahnya (Mathias Muchus) untuk mengikuti lomba MTQ. Adegan ayah Ja’far
mencabik-cabik piala Ja’far menang lomba baca Alquran, sampai menjadi potongan
kecil, bikin ngilu! Ja’far hanya bisa menangis sesenggukan
di pelukan ibunya (Henidar Amroe). Bagi ayah Ja’far, MTQ merupakan ajang
orang-orang berpamer ria keahlian membaca Alquran. Ada yang sogok sana sogok
sini demi memenangi pertandingan. Kompetisi kotor. Menurut ayah Ja’far ini ya
woooiii.
Pas gedenya, Ja’far (Dimas Seto) mendapat beasiswa
masuk ke pesantren Al Amin. Jadilah dia mondok mendalami agama bareng santri
yang lain. Namun, semenjak diamuk ayahnya, pemuda bersahaja ini trauma. Meski
memiliki suara yang indah saat mengaji, Ja’far tak bakalan mau ikut lomba MTQ.
Anak baik budi kali si Ja’far, Kawan CM. Mana ganteng lagi. Molaaaiii.
Keengganan Ja’far ikut lomba MTQ bertambah setelah
melihat sikap ngotot santri lain, Syatori (Ibnu Jamil). Entah kenapa kalok
nengok muka Ibnu Jamil, perasaan awak langsung enggak enak. Pasti dia yang jadi
orang jahatnya. Tuh betol, kan. Syatori ngotot menang lomba MTQ, apa pun yang
terjadi. Tak peduli harus menjegal orang lain. Santri juga manusia, ya. Bisa
khilaf dan lupa. Gesekan semakin panas ketika ternyata Ja’far dan Syatori
sama-sama mencintai Azizah (Meriza Febriani), putri semata wayang Kiai
Khumaedi, kiai pemilik pesantren. Sementaraaa, sementara, Annisa (Elyzia
Mulachela), teman masa kecil Ja’far, juga memendam cinta sama Ja’far.
Ketika mendengar Ja’far mengaji surat Ar-Rahman,
alamak ... Kiai Khumaedi terpesona! Beliau mantap memasukkan Ja’far sebagai
salah satu perwakilan MTQ dari pesantren Al Amin. Di satu sisi, Ja'far hampir berhasil mendekati Azizah. Di sisi lain, Ja’far dilema.
Ayahnya sakit dan butuh uang untuk operasi di RS. Syatori menawarkan uang, tapi
dengan syarat Ja’far harus membatalkan keikutsertaannya di lomba MTQ.
“Sejak kapan kamu bisa dibeli? Kembalikan uang itu,” tegas ayah Ja’far kepada Ja'far ketika tahu permintaan Syatori. “Sehat dan sakit itu milik Allah. Biarkan Ayah. Pergilah. Bacalah atas nama Tuhanmu. Bacalah untuk ibumu.”
See, again, ini soal HARGA DIRI. Fyi, ibu Ja’far
sudah meninggal saat Ja’far masih kecik. Ibu Ja’far ini dulunya
terkenal sebagai qoriah jempolan. Beliaulah yang mengajari Ja’far mengaji.
Ja’far menuruti kemauan ayahnya mengikuti lomba MTQ
antar-pesantren. Demi membuktikan bahwa niatnya mengikuti lomba hanya dan hanya
untuk syiar, Ja’far mengundurkan diri sebagai pemenang pertama. Syatori
menggantikan posisinya. Dan, semua keputusan Ja’far berujung pahit, yakni kepergian
sang ayah menghadap Sang Khalik.
Ja’far mencapai satu titik di mana dia ingin benar-benar
pergi dari kehidupannya yang sekarang, merenungi apa sesungguhnya yang dia cari
dalam hidup. Terlebih setelah kisah cintanya dengan Azizah kandas. Ja’far
pulang ke kampung halaman almarhumah ibunya di Lombok. Bukan lebay, tapi menurut
saya, ide mengangkat kearifan lokal Lombok adalah ide brilian. Selain pesona
wisata, Lombok juga terkenal akan nuansa religinya. Mayoritas penduduk Negeri
Seribu Masjid ini beragama Islam. Tambahan pula, tahun 2016, MTQ Nasional
memang diadakan di sana. Hmmm, kapanlah awak lari-lari cantik di pantai yang
ada di Lombok, ya. *kode*
![]() |
Pesona Lombok |
Setelah sekian lama,
Ja’far dan Syatori kembali bertemu, kali ini di MTQ Nasional. Ja’far mewakili
Provinsi NTB, sementara Syatori mewakili daerahnya. Azizah yang kini sudah
menjadi istri sah Syatori, memohon kepada Ja’far untuk (lagi-lagi) mengalah
agar Syatori bisa tampil sebagai pemenang. Nah, apa keputusan Ja’far? Maukah dia
mengalah karena rasa kasihan kepada Azizah yang pernah dicintainya? Siapa pulak
gadis yang berhasil menawan hati Ja’far? Jreng jreng jreng. Penasaran klen,
kaaan.
Yang bikin saya bingung, Syatori itu siapa
sebenarnya hah hah hah? Kenapa dia seolah-olah sangat berpengaruh di pesantren hingga bisa
mengancam beberapa ulama? Tidak ada penjelasan sama sekali. Lalu, sepertinya
bukan salah Azizah juga jika memilih Syatori karena dia tidak pernah tahu persis Ja’far mencintainya atau tidak. Satu-satunya surat dari Ja’far untuk Azizah, disembunyikan Annisa.
Ketika Azizah sudah dilamar, barulah Annisa menunjukkan surat itu. Kesannya, kok, Azizah yang disalahkan di sini. Hayati tak terimaaa. Terakhir,
yang paling mengganggu menurut saya adalah kalimat yang tercetus dari ayah
Ja’far kepada Ja’far kecik, “Ngapain kamu sekolah di sana? Sekolah madrasah itu
sekolah kampung!” Seandainya ayah Ja’far punya idealisme dalam beragama, kenapa
dia malah menghina sekolah madrasah, ya? Kontradiktif.
Film Kalam-Kalam Langit yang kemudian dikembangkan menjadi novel oleh Pipiet Senja (saya belum baca
novelnya) bukan sekadar film yang mengajak kita mencintai Alquran. Saya paling
suka adegan Ja’far mengingat masa-masa kecik dia diajari mengaji oleh ibunya. Tak
kuasa saya menghalau jatuh air mata. Suami lebih deras lagi nangisnya, mungkin
karena dia teringat almarhumah ibunya yang juga guru mengaji. Oiya, Dimas Seto
memang tidak memakai suara aslinya di setiap adegan mengaji, namun tetaplah
butuh belajar mengaji yang baik untuk main di film ini, menyesuaikan panjang
pendek harokat serta mimik wajah saat menjadi qori. Dan, akting Dimas Seto cukup berhasil. Kalam-Kalam
Langit tambah istimewa karena kehadiran Ketua Umum PBNU KH. Said Agil
Siradj sebagai cameo.
![]() |
Yang jilbab putih, bukan Azizah, bukan pula Annisa |
Kalau weekdays Kawan CM punya waktu senggang, bolehlah menonton di bioskop terdekat. Mudah-mudahan ada jodoh tayang sampai weekend. Khawatir keburu turun dari bioskop soalnya hihi. Selamat menonton ya, Kawan CM!
Cerita Melalak kasih apresiasi 3 dari 5 bintang. [] Haya Aliya Zaki
Ooo ..film ini dari novelnya ibu pipit senja... Kenal juga sama beliau bahkan berteman di fb loh..tapi malah baru tau setelah baca postingan ibu haya...
ReplyDeleteKayanya menarik untuk disimak
Saya juga baru tahu, Pak, kalo film ini dari novel Ibu Pipiet Senja. Saya sendiri belum baca novelnya. ^_^
DeleteFilm religi seyogyanya banyak diproduksi dengan tema yang memikat.
ReplyDeleteTerima kasih resensinya
Salam hangat dari Surabaya
Kemasannya juga harus memikat supaya banyak yang nonton ya, Pakde. Makasih udah mampir. :)
DeleteSaya hapal nama Pipiet Senja ini dulu sering sekali dimuat cerpennya di Annida. Jaman saya masih bujang, umur 20-an, bacaannya majalah ini. Hehehe.
ReplyDeleteFilm bertema reliji mudah-mudahan digarap lebih baik sehingga ada pesan yang disampaikan dan menempel di benak penonton, sekaligus menarik secara kemasan. Insya Allah penontonnya banyak karena film-film yang tak sekedar tontonan tapi juga tuntunan sangat dibutuhkan.
Ibu Pipiet Senja memang penulis produktif ya, Mas. Saya sering baca cerpen beliau di majalah Bobo dulu. Aamiin aamiin semoga film-film religi yang lain ke depannya lebih kece lagi.
DeleteLihat bagian awal film ini saja saya sudah nangis. Aktingnya Mathias Muchus mantap banget.
ReplyDeleteOh iya, ini filmnya bukan adaptasi novel mbak. Tapi hasil pengembangan dari tulisannya si penulis naskah. Setelah filmnya jadi baru dibuat novelnya. Jadi novel yang mengikuti filmnya.
Dari yang saya tahu sih begitu
Oooh I see. Berarti film muncul, baru novelnya, ya. Saya pikir sebaliknya. Makasih infonya. Nanti saya koreksi. :)
Deletemalam kamis lalu sempat nonton promo kalam-kalam langit ini di tonait show :)
ReplyDeletekayaknya harus segera ke bioskop nih :)
makasih reviewnya Mba Haya, membaca review ini menguatkan niat saya untuk menonton filmya :)
Kalau saya sih suka, Mba. Selamat menonton! :)
DeleteMudah-mudahan filmnya sebagus review nya ๐๐๐
ReplyDeleteEmang reviewnya bagus, ya? *keselek*
Deletehmmm, kalau mau nonton di luar, sepertinya tidak bisa karena kendala anak. Ntar kalau udah ada DVDnya, baru nonton deh. Saya jarang nonton film religi, karena suka kecewa, tapi reviewnya menggoda untuk nonton film yang satu ini. BTW, saya juga pernah denger selentingan kalau di MTQ pun ada suap menyuap dan black magic buat menggolkan jagoannya. Wallahua'lam.
ReplyDeleteKecewa karena kebanyakan menceramahi ya, Mba? Saya juga, sih. Tayangan yang saya suka tuh kayak "Para Pencari Tuhan". Pesannya dapet tanpa berasa digurui. Kalok yang ini insya Allah aman, Mba, menurut saya.
Deletewaduh banyak film baru ya skr bermunculan
ReplyDeleteaku suka baca review-nya...Pipit Senja hmm, nama yang tidak asing yak..
ReplyDelete