“Mba, ini Bali bagian mana? Cakep banget!”
“Huaaa
… Desa Penglipuran? Lucky you, Mba! Belum tentu kalau tur ke Bali diagendakan
ke sini.”
“Wah,
ini kan tempat syuting favorit di sinetron FTV! *ketahuan banci FTV*”
Itu sebagian komentar teman-teman saat saya posting foto selfie dengan
background Desa Penglipuran, Bali,
tanggal 30 Oktober 2015 lalu. Jujur, sebelum ke sini, saya sama sekali no clue
seperti apa Desa Penglipuran. Itinerary sudah diterima dari panitia tim Jelajah Gizi Bali, tapi saya sengaja
tidak mencari tahu. Wes biar jadi surprais aja.
![]() |
Selfie di Desa Penglipuran |
Dan … ternyata memang surprais! Berada di Desa
Penglipuran seperti berada di taman kayangan milik para dewata. Indahnyaaa! Nuansa
Bali kental terasa. Bukan lebay, tapi ketika sedang menempuh jalanan menuju
ujung desa yang menapak naik, saya merasa seolah-olah sedang menempuh
perjalanan menuju langit. Bangga menyeruak. Masya Allah, beneran
tempat indah ini ada di negara saya? Negara Indonesia! Angkul-angkul (rumah
adat Bali) di Desa Penglipuran sangat khas. Bagian atapnya terbuat dari bambu.
Konon katanya waktu zaman dulu mereka berlindung dari musuh di atap bambu.
Itulah sebabnya hutan bambu di Desa Penglipuran tidak boleh ditebang. Jangan heran melihat sajen di sana-sini. Orang Bali sembahyang tiga kali sehari, yakni pukul enam pagi, pukul dua belas siang, dan pukul enam sore. Sukaaa lingkungan desanya asri dan bersih! Tidak ada kendaraan lalu lalang. Jangankan mobil, sepeda motor pun dilarang masuk. Saya menghirup udara sejuk sepanjang perjalanan. Ya, desa
ini terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian 700 m dpl. Sesekali udara
sejuknya bercampur aroma harum dupa dari pura-pura yang ada di depan rumah.
“Penglipuran” berasal dari kata “Pengeling
Pura” artinya: tempat suci untuk mengenang para leluhur. Penduduk yang tinggal
di Desa Penglipuran termasuk suku Bali Aga. Kata bapak gaet, suku Bali Aga
adalah penduduk asli Bali. Mereka tinggal di sini sebelum orang-orang dari
Majapahit hijrah. Tidak ada sistem kasta seperti ajaran agama Hindu dari India.
Desa Penglipuran yang luasnya sekitar 112 Ha ini terdiri atas pemukiman
penduduk, hutan bambu, sekolah, pura, dan lain-lain. Letaknya 60 km dari Kuta,
tepatnya di Jalan Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli. Teman-teman hanya
perlu mengeluarkan uang sekian ribu rupiah per orang sebagai tiket masuk. Murah
banget. Harga tiket masuk tidak sebanding blas dengan pemandangan dan
sensasi “mewah” yang didapat di dalam Desa Penglipuran.
Kira-kira
250 kepala keluarga dengan total 700 penduduk tinggal di Desa Penglipuran.
Unik, laki-laki di sini cuma boleh punya satu istri. Bagi yang ingin poligami, disediakan
tempat bernama Karang Memadu. Karang
Memadu terletak di luar desa. Dengan kata lain, laki-laki yang berpoligami
harus keluar dari desa hehehe. Sampai sekarang, Karang Memadu masih kosong. Ini
berarti belum ada satu pun laki-laki Desa Penglipuran yang poligami, yaaa.
![]() |
Yang mau poligami, silakan ke sebelah kiri hihi |
Saya
dan kawan-kawan tim Jelajah Gizi Bali disuguhi minuman dingin bernama loloh
cemcem. Segar! Rasanya mirip jus kedondong, salah satu jus favorit saya. Loloh cemcem semacam “jamu” khas Bangli. Biasanya jamu pahit, kan? Nah, loloh cemcem malah enak! Menurut Prof. Eman, minuman berwarna hijau ini dibikin dari daun
cemcem dan ditambahkan irisan daging buah kelapa. Khasiatnya untuk mengobati panas dalam, menurunkan tensi, dan memperlancar kerja saluran pencernaan. Harga? Cuma tiga ribu perak sebotol.
Maksud hati, sih, pengin beli banyak buat dibawa ke Jakarta. Apa daya, loloh
cemcem hanya awet satu hari. Itu pun kudu langsung disimpan di kulkas. Perjalanan
kami masih panjang. Belum bisa check in hotel.
![]() |
Minuman loloh cemcem |
Prof. Eman memegang daun cemcem |
Sebenarnya ada satu lagi suku Bali Aga.
Mereka tinggal di Desa Tenganan di
Bali bagian timur. Di Desa Tenganan, laki-laki hanya boleh menikah dengan
perempuan yang berasal dari Desa Tenganan juga. Sementara, di Desa Penglipuran,
laki-laki boleh menikah dengan perempuan dari lain desa. Sayangnya, kini rumah-rumah
di Desa Tenganan berubah menjadi aneka toko yang menjual macam-macam barang
kerajinan. Bentuk rumah aslinya sudah hilang! Itulah sebabnya pemerintah
setempat berusaha menjaga kelestarian Desa Penglipuran. Penduduk boleh
berdagang, tapi dengan syarat, rumah mereka tidak boleh diubah bentuk aslinya. Jangan
sampai eksotisme desa hilang dimakan
zaman.
Tim Jelajah Gizi Bali di Desa Penglipuran |
Di
Bali Pulina, saya jalan-jalan sambil haha hihi. Mungkin efek ceria
ngopi-ngopi sore, ya. Di Desa Penglipuran berbeda. Saya jalan-jalan sambil
refleksi diri. Di sini saya ingat kalimat bijak seorang teman. Katanya,
“Semakin banyak berjalan dan melihat, kamu bisa semakin banyak bersyukur.” Saya
sempat bertasbih dalam hati sambil memandang ujung Desa
Penglipuran nun di sana. Alam yang luar biasa indah ini merupakan bukti kasih
sayang Allah Swt kepada manusia. Semoga saya tidak termasuk golongan manusia
yang dengan sengaja merusak ciptaan-Nya. Aamiin. So, Kawan CM, ada yang mau jalan-jalan dan menginap di Desa Penglipuran? Di sini disewakan beberapa home stay, lho. Monggo. Dan, ada apa
lagi di acara Jelajah Gizi Bali yang berikutnya? Tunggu cerita saya! ^^ [] Haya Aliya Zaki
Desa Penglipuran
Jalan Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Bali
aaaak..kereeeeen.... trus di sana gak ditawarin maen shitnetron ftv mba??
ReplyDeleteBwahahaha ditawarin jadi yang nyapu nyapu. :p
DeleteBersih dan rapi ya desanya. Beruntung kali Mak, bisa jalan-jalan kesana.
ReplyDeleteIyes, lucky me. :)
DeleteWaah baru tau ada Karang Memadu.Berarti gak boleh poligami ya di Desa Panglipuran.Terbukti warganya setia semua.
ReplyDeleteSemua punya satu istri karena satu aja ga habis kok. :))
DeleteKemarin juga baru baca tentang desa ni di blog mbak Lidya... keren bgt ya. Aku jdi pengen deh kesini
ReplyDeleteAyo main ke sini, Mun. Worth it banget!
DeleteBagus juga tuuh kalo para poligamer dikumpulkan di "Karang Memadu" hahaha jadi teridentifikasi dengan jelas hihihihi
ReplyDelete:))))))
Deleteescape dari keruwetan ibukota, pengeen :D
ReplyDeleteNah, cocok! :D
DeleteAku yang tinggal berapa taun di Bali aja belum pernah kesana.. Hiks *sedih*
ReplyDeleteWah, emang tinggal di Bali di mananya?
DeleteLihat fotonya aja serasa adem tempatnya, mbak :)
ReplyDeleteSerius itu Mbak, yang arah kiri masih kosong? Keren deh para lelaki Bali, hehehe
Adem dan sunyi, Mba. Damai. Iya, yang arah kiri masih kosong haha! :v
Deleteduh tentramnya.. aku bayangin penduduknya semua pasti hidup damai bersahaja ya mak..
ReplyDeleteBersahaja dan masih memegang teguh ada istiadat, Mba.
DeleteKalo poligami dan keluar dari desa, kesepian dong ya .. iih siapa yang mau ya :))
ReplyDeleteBaru tahu ternyata ada yang tidak pakai kasta di Bali ya. Kirain semua orang Hindu menerapkan kasta
TFS Mak :)
Sukses lombanya yaa
Iya, aku juga baru tahu ada orang Hindu yang ga pakai kasta. Makasih udah mampir, Mba. :)
Deletehuaa kangen balii...* gelundungankesana*
ReplyDeleteTante Haya kapan mau balik ke Bali lagi ??
ReplyDeleteNanti ponakan temeniin.